Get paid to share your links!

kisah anak kampung raih gelar dokter

SURABAYA POST - Bila saja dulu tidak nekat, dr Poerwadi tidak tahu akan jadi apa sekarang. Hanya kenekatan itulah yang membuatnya bisa menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair).

Poerwadi kecil lahir dalam keluarga yang tak berkecukupan. Ayahnya hanyalah pegawai rendahan golongan 1A di Dinas Kesehatan Bojonegoro dan sehari-hari bertugas sebagai juru cacar. Ibunya adalah ibu rumah tangga sepenuhnya.

Dengan penghasilan seorang pegawai rendahan, sang ayah harus menghidupi Poerwadi dan 13 adiknya. Menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi, apalagi di Fakultas Kedokteran yang di tahun 1960an masih tergolong eksklusif, hampir mustahil bisa dilakukan. Namun hal itu tidak menghentikan Poerwadi untuk berusaha.

Pada 1968, tepatnya setahun setelah lulus SMA, Poerwadi nekat ke Surabaya untuk mendaftarkan diri di FK Unair. Ia berangkat dengan menumpang kereta barang tanpa memberi tahu kedua orangtuanya.

Di Surabaya, Poerwadi menumpang di rumah budhe salah satu temannya yang juga ikut mendaftarkan diri di FK Unair. Selama sebulan, ia tinggal di Surabaya untuk mengikuti bimbingan belajar hingga tes. Selama itu pula, orangtua Poerwadi tidak pernah mencari ke mana ia pergi.

“Mungkin karena anaknya banyak sekali, orangtua saya tidak hafal dan tidak sadar saya sudah sebulan tidak ada di rumah,” kata Poerwadi sambil tersenyum.

Begitu dia dinyatakan diterima, Poerwadi pulang ke Bojonegoro. Ia menceritakan semuanya kepada kedua orangtuanya, termasuk keinginan menjadi seorang dokter. Namun, tanggapan orangtuanya membuat Poerwadi sedih.

“Bapak saya bilang, uang apa yang mau dipakai untuk sekolah kedokteran? Untuk hidup saja sudah pas-pasan,” kata Poerwadi. Dia menangis ketika mendengar jawaban ayahnya saat itu.

Tapi Poerwadi tetap kembali ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikan di FK Unair. Biaya masuk dibayar dengan cara diangsur selama enam bulan. Ia juga hidup di Surabaya dengan menumpang di rumah budhe temannya untuk menghemat biaya.

Dokter yang tergabung di Tim Transplantasi Hati RSUD dr Soetomo mengaku sangat bersyukur bisa masuk FK Unair pada 1968. Pasalnya, setahun kemudian, biaya masuk naik menjadi Rp 50 ribu, yang sebelumnya hanya Rp 3 ribu, itupun dicicil.

“Seandainya saya tidak masuk tahun tersebut, mungkin saya tidak akan pernah kuliah kedokteran karena tidak mampu membayar biaya masuk,” katanya.

Hidup susah tidak menyurutkan Poerwadi untuk meraih gelar dokter. Bahkan di tahun-tahun terakhir kuliah, ia tinggal di masjid kampus karena tak ada biaya. Seluruh perjuangan itu akhirnya terbayar ketika gelar dokter berhasil digenggam pada 1974.

Karena berasal dari keluarga tidak mampu, Poerwadi hanya punya pilihan bekerja sebagai dokter Inpres. Ia ditempatkan di Kecamatan Bungku, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, sebagai dokter Inpres kelima. Sebelum Poerwadi datang, daerah ini tidak pernah dijamah dokter dan masih kental dengan kekuatan magis.

Meski ditempatkan di daerah terpencil, dr Poerwadi tetap bersyukur, termasuk saat Puskesmas yang dijalankannya tidak pernah didatangi pasien. Waktu itu, orang yang sakit lebih memilih berobat ke bidan atau perawat yang membuka praktik di rumah.

Namun Poerwadi tidak kehilangan akal. Ia berusaha merangkul bidan dan perawat desa dengan menularkan ilmunya kepada mereka. Lambat laun, kedua tenaga kesehatan ini menyarankan pasien untuk berobat ke Puskesmas. Mereka menilai dokter yang bertugas lebih pandai dan punya
kemampuan lebih.

“Upaya ini saya tempuh karena saya tidak mau menentang arus yang bisa merugikan saya sendiri,” katanya.

Hanya saja, selama bertugas di Bungku, Poerwadi harus mengubur keinginan dan cita-cita untuk menjadi dokter spesialis. Wajar saja, sebelum kedatangannya, Kecamatan Bungku tidak pernah memiliki dokter. Warga setempat juga sangat menyayanginya dan tidak ingin Poerwadi pindah ke tempat lain.

“Waktu itu saya tidak punya angan-angan akan jadi seperti sekarang,” kata Poerwadi yang kini menjabat Kepala Gedung Bedah Pusat Terpadu (GBPT) RSUD dr Soetomo.

Tapi, Allah menggariskan lain. Poerwadi akhirnya bisa kembali ke tanah Jawa dan melanjutkan pengabdian di Magetan. Di kabupaten yang terletak
di kaki Gunung Lawu ini, ia kembali membangun impian menjadi dokter spesialis. Penghasilan sebagai dokter di RS milik pemerintah sedikit demi sedikit disisihkan untuk biaya pendidikan dokter spesialis.

“Selama di Bungku, saya tidak bisa menabung karena gaji saya hanya cukup untuk hidup. Itu pun sering dibayar tiga atau enam bulan sekali karena petugas tidak setiap bulan mengambil gaji di kabupaten yang perjalanannya makan waktu dua minggu memakai perahu,” katanya.

Tiga tahun mengabdi di Magetan, Poerwadi akhirnya bisa mewujudkan keinginan dan menempuh pendidikan dokter spesialis di Unair. Berkat kesempatan itu, Poerwadi kemudian mendapat kesempatan bergabung di RSUD dr Soetomo dan menjadi pengajar juniornya.

“Saya menjalani semuanya seperti air mengalir. Kita tidak perlu menentang arus tapi tetap berusaha untuk mencapai tujuan. Dan, tidak lupa mensyukuri pemberian Tuhan dalam kondisi apa pun,” kata pria yang gemar bersepeda menelusuri kampung-kampung di sekitar tempat tinggalnya ini.
Category: 0 komentar

0 komentar:

Posting Komentar